Usia Megawati Sekarang

Usia Megawati Sekarang

Pemilihan presiden tidak langsung 1999

Koalisi PDI-P Megawati dan PKB menghadapi ujian pertamanya ketika MPR berkumpul untuk memilih Ketuanya. Megawati memberikan dukungannya di belakang Matori Abdul Djalil, Ketua PKB. Ia dikalahkan habis-habisan oleh Amien, yang selain mendapat dukungan Poros Tengah juga didukung Golkar.[19] Koalisi Golkar dan Poros Tengah kembali menggebrak saat mengamankan pemilihan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR. Pada tahap ini, masyarakat menjadi khawatir bahwa Megawati, yang paling mewakili reformasi, akan dihalangi oleh proses politik dan status quo akan dipertahankan. Pendukung PDI-P mulai berkumpul di Jakarta.

Habibie membuat pidato yang kurang diterima tentang akuntabilitas politik yang membuatnya mundur. Pemilihan presiden yang dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 1999 berpihak pada Megawati dan Wahid. Megawati memimpin lebih dulu, tetapi disusul dan kalah dengan 313 suara dibandingkan dengan 373 suara Wahid. Kekalahan Megawati memicu para pendukungnya untuk memberontak.[19] Kerusuhan berkecamuk di Jawa dan Bali. Di kota Solo, massa PDIP menyerang rumah Amien.

Keesokan harinya, MPR berkumpul untuk memilih wakil presiden. PDI-P sempat mempertimbangkan untuk mencalonkan Megawati, tetapi khawatir koalisi Poros Tengah dan Golkar akan kembali menggagalkannya. Sebaliknya, PKB mencalonkan Megawati. Dia menghadapi persaingan ketat dari Hamzah Haz, Akbar Tanjung dan Jenderal Wiranto. Sadar akan kerusuhan itu, Akbar dan Wiranto mundur.[19] Hamzah tetap bertahan, tapi Megawati mengalahkannya 396 berbanding 284. Dalam pidato pelantikannya, dia menyerukan ketenangan.

Indonesian Democratic Party chair

Megawati Sukarnoputri was not reelected, but continued as a PDI member. In December 1993, the PDI held a national congress. As was always the case when New Order opposition parties held their congresses, the government actively interfered. As the Congress approached, three individuals contended for the PDI chair. The incumbent, Suryadi, had become critical of the government. The second was Budi Harjono a government-friendly figure whom the government backed. The third was Megawati Sukarnoputri. Her candidacy received such overwhelming support that her election at the Congress became a formality.[11]

When the congress assembled, the government stalled and delayed attempts to hold the election.[11] The congress faced a deadline when their permit to assemble would run out. As the hours ticked down to the end of the congress, troops began gathering. With only two hours remaining, Megawati Sukarnoputri called a press conference, stating that because she enjoyed the support of a majority of PDI members, she was now the de facto chair.[11] Despite her relative lack of political experience, she was popular in part for her status as Sukarno's daughter and because she was seen as free of corruption with admirable personal qualities. Under her leadership, PDI gained a large following among the urban poor and both urban and rural middle classes.[12]

The government was outraged at its failure to prevent Megawati's rise. They never acknowledged Megawati Sukarnoputri although her self-appointment was ratified in 1994. In 1996, the government convened a special national congress in Medan that reelected Suryadi as chair. Megawati Sukarnoputri and her camp refused to acknowledge the results and the PDI divided into pro-Megawati and anti-Megawati camps.[13]

Suryadi began threatening to take back PDI's Headquarters in Jakarta. This threat was carried on the morning of 27 July 1996.[14] Suryadi's supporters (reportedly with the government's backing) attacked PDI Headquarters and faced resistance from Megawati Sukarnoputri supporters stationed there. In the ensuing fight, Megawati's supporters held on to the headquarters. A riot ensued, followed by a government crackdown. The government later blamed the riots on the People's Democratic Party (PRD), and continued to recognize Suryadi's faction as the official party.[15]

Despite what seemed to be a political defeat, Megawati Sukarnoputri scored a moral victory and her popularity grew. When the time came for the 1997 legislative election, Megawati Sukarnoputri and her supporters threw their support behind the United Development Party (PPP), the other approved opposition party.[16]

In mid-1997, Indonesia began to be affected by the Asian Financial Crisis and showed severe economic distress. By late January 1998 the rupiah fell to nearly 15,000 against the US dollar, compared to only 4,000 in early December. Increasing public anger at pervasive corruption culminated with Suharto's resignation and the assumption of the presidency by Vice President B. J. Habibie in May 1998, starting the Reformation era (Reformasi). The restrictions on Megawati Sukarnoputri were removed and she began to consolidate her political position. In October 1998, her supporters held a National Congress whereby Megawati's PDI faction would now be known as the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P). Megawati Sukarnoputri was elected chair and was nominated as PDI-P's presidential candidate.[17]

PDI-P, together with Abdurrahman Wahid's National Awakening Party (PKB) and Amien Rais' National Mandate Party (PAN), became the leading reform forces. Despite their popularity, Megawati Sukarnoputri, Abdurrahman Wahid and Amien Rais adopted a moderate stance, preferring to wait until the 1999 legislative election to begin major changes.[18] In November 1998, Megawati Sukarnoputri, together with Abdurrahman Wahid, Amien Rais and Hamengkubuwono X reiterated their commitment to reform through the Ciganjur Statement.[19]

As the elections approached, Megawati Sukarnoputri, Abdurrahman Wahid and Amien Rais considered forming a political coalition against President Habibie and Golkar. In May, Alwi Shihab held a press conference at his house during which Megawati Sukarnoputri, Abdurrahman Wahid and Amien Rais were to announce that they would work together. At the last minute, Megawati Sukarnoputri chose not to attend, because she decided that she could not trust Amien.[20] In June, the elections were held and PDI-P came first with 33% of the votes.[21]

With the victory, Megawati's presidential prospects solidified. She was opposed by PPP who did not want a female president.[22] In preparation for the 1999 MPR General Session, PDI-P formed a loose coalition with PKB. As the MPR General Session approached, it seemed as if the presidential election would be contested between Megawati Sukarnoputri and B. J. Habibie, but by late June Amien Rais had drawn the Islamic parties into a coalition called the Central Axis.[20] The presidential election became a three-way race when Amien Rais floated the idea of nominating Wahid for president; but Abdurrahman Wahid did not provide a clear response to the proposal.[citation needed]

Hubungan dengan Wahid dan naik ke kursi kepresidenan

Megawati memiliki hubungan ambivalen dengan Wahid. Pada reshuffle Kabinet Agustus 2000 misalnya, Megawati tidak hadir untuk mengumumkan susunan baru.[25] Pada kesempatan lain, ketika gelombang politik mulai berbalik melawan Wahid, Megawati membelanya dan mengecam para kritikus.[26] Pada tahun 2001, Megawati mulai menjauhkan diri dari Wahid ketika Sidang Istimewa MPR mendekat dan prospeknya menjadi presiden meningkat. Meski menolak berkomentar secara spesifik, dia menunjukkan tanda-tanda mempersiapkan diri, mengadakan pertemuan dengan para pemimpin partai sehari sebelum Sidang Istimewa dimulai.

Perjalanan pendidikan

Pranala ke artikel terkait

Sementara untuk pengunjung umum di atas 12 tahun, wajib menggunakan aplikasi PeduliLindungi untuk melakukan skrining.

Perlu dicatat, Hanya pengunjung dengan kategori Hijau dalam aplikasi PeduliLindungi yang diperbolehkan masuk area.

Pengunjung kategori hijau adalah mereka yang telah melakukan vaksinasi secara lengkap dan tidak ada ada hasil positif atau kontak erat dengan pasien Covid-19.

Jadi, sebelum berkunjung, pastikan kamu telah memenuhi syarat batasan usia di atas.

Ancol Tak Lagi Berlakukan Ganjil Genap

Taman Impian Jaya Ancol sudah tidak lagi memberlakukan aturan ganjil genap.

Pengumuman itu disampaikan langsung melalui akun Instagram Ancol, @ancoltamanimpian.

Artinya, para wisatawan kini bebas berlibur ke Ancol tanpa harus menyesuaikan plat nomor kendaraan dengan tanggal kunjungan.

Baca juga: Liburan Seru ke Dufan Ancol Setahun Penuh, Cuma Bayar Rp 350 Ribu

Peniadaan ganjil genap sejalan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2022.

Menurut surat keputusan tersebut, aturan ganjil genap yang berlaku pada tempat wisata di Jakarta dtiadakan mulai 18 Februari 2022.

The 13th World Chinese Entrepreneurs Convention Opened in Bali, Indonesia (English)

Megawati Hangestri resmi memperpanjang kontraknya dengan tim Red Sparks untuk musim 2024/2025 dengan gaji terbaur yang jadi sorotan.

Megawati Hangestri Pertiwi mendapat pesan menyentuh dari mantan rekannya Giovanna Milana alias Gia menjelang kembali bergabung dengan Red Sparks.

Atlet bola voli Indonesia Megawati Hangestri Pertiwi menyabet penghargaan Anugerah Perempuan Hebat 2024 atas capaiannya di bidang olahraga.

Megawati Hangestri sukses pecah telur dengan menjadi juara PLN Mobile Proliga untuk kali pertama bersama Jakarta BIN. Ia mematahkan persepsi orang-orang kalau ada dirinya timnya tidak kalah.

Opposite Jakarta BIN Megawati Hangestri Pertiwi dinobatkan sebagai MVP PLN Mobile Proliga 2024. Penghargaan ini melengkapi gelar juara Jakarta BIN.

Laga dramatis hadir di final putri PLN Mobile Proliga 2024. Jakarta BIN akhirnya mengamankan gelar usai menaklukkan Jakarta Electric PLN 3-2 (25-21, 25-20, 22-25, 21-25, 17-15) di Indonesia Arena, Sabtu (20/7/2024) malam WIB.

Megawati Hangestri Pertiwi menjadi satu-satunya spiker lokal yang berada di posisi 10 besar top scorer putri PLN Mobile Proliga 2024. Pemain Jakarta BIN itu menempati posisi sembilan dengan 152 poin.

Dua kemenangan dalam PLN Mobile Proliga 2024 di Gor Ken Arok jadi target sejak awal manajemen dan pemain

Jakarta BIN meraih tiket final four PLN Mobile Proliga 2024 setelah mengalahkan Jakarta Livin Mandiri. Megawati Hangestri cs belum terkalahkan pada putaran kedua.

Megawati Hangestri dan kawan-kawan hanya butuh satu kemenangan lagi untuk membawa Jakarta BIN lolos ke final four PLN Mobile Proliga 2024 usai mengalahkan Bandung bjb Tandamata.

Pemain Jakarta BIN Megawati Hangestri di posisi kesembilan dalam daftar top scorer PLN Mobile Proliga 2024 dengan 130 poin.

Megawati Hangestri menuliskan pesan menyentuh untuk ratu voli Korea Selatan Kim Yeon Koung yang memutuskan pensiun dari tim nasional.

Megawati Hangestri mencetak total 39 poin saat Jakarta BIN mengalahkan Gresik Petrokimia Pupuk Indonesia dan Jakarta Pertamina Enduro pada PLN Mobile Proliga 2024 seri Bandung.

Jakarta BIN merekrut Kara Bajema untuk menggantikan Kashauna Williams pada lanjutan PLN Mobile Proliga 2024. Outside hitter asal Amerika Serikat itu kabarnya dikontrak dengan harga US$ 300.000 atau sekitar Rp 4,8 miliar.

PBVSI merevisi skuad Timnas Indonesia untuk AVC Challenge for Womens. Megawati Hangestri menghilang dari daftar skuad.

Pevoli Megawati Hangestri Pertiwi bakal bakal menempuh pendidikan program magister manajemen di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus).

Pelatih Red Sparks Ko Hee Jin akan mengkombinasikan Megawati Hangestri dan Vanja Bukilic meski kedua pemain memiliki posisi sama, yakni opposite.

Opposite Jakarta BIN Megawati Hangestri Pertiwi dekati 10 besar dalam daftar top scorer putri PLN Mobile Proliga 2024 yang akan memasuki putaran pertama seri keempat.

Pengurus Pusat (PP) PBVSI memanggil 14 pemain yang akan dikirim untuk mengikuti Kejuaraan AVC Challenge Women 2024 di Filipina, 22-29 Mei mendatang. Skuad tersebut berisi pemain yang tersebar di dalam tim yang mengikuti PLN Mobile Proliga 2024, salah satunya Megawati Hangestri Pertiwi.

Giovanna Milana alias Gia menyesal dan sedih tidak bisa menghadapi Megawati Hangestri saat Jakarta Pertamina Enduro dikalahkan Jakarta BIN pada PLN Mobile Proliga 2024 putaran pertama seri Palembang.

President of Indonesia from 2001 to 2004

Diah Permata Megawati Setiawati Sukarnoputri (Indonesian: [meɡawati sukarnɔputri] ⓘ; born 23 January 1947) is an Indonesian politician who served as the fifth president of Indonesia from 2001 to 2004 and the eighth vice president under President Abdurrahman Wahid from 1999 to 2001.

Megawati Sukarnoputri is Indonesia's first and to date only female president[4] and the fifth woman to lead a Muslim-majority country. She is also the first Indonesian president and as of 2023 the only vice president to be born after Indonesia proclaimed its independence in 1945. After serving as vice president to Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri became president when Wahid was removed from office in 2001. She ran for re-election in the 2004 presidential election, but was defeated by Susilo Bambang Yudhoyono. She ran again in the 2009 presidential election, losing to Yudhoyono a second time.

Megawati Sukarnoputri was instrumental in creating the Corruption Eradication Commission, an agency tasked with combatting corruption in Indonesia. She also set up a general election system for the first time, in which the Indonesian people can directly elect the president and vice president, in addition to electing candidates for the legislature. As a result, she was given the title "Mother of Upholding the Constitution."[5]

She is the first and current leader of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), one of Indonesia's largest political parties. She is the eldest daughter of Indonesia's first president, Sukarno.

Her name, Sukarnoputri (meaning "daughter of Sukarno"), is a patronym, not a family name; Javanese often do not have family names, similarly Minang living outside of traditional nagari society often do not carry on matrilineal clan names. She is often referred to as simply Megawati or Mega, derived from Sanskrit meaning 'cloud goddess.' In a speech to the students of the Sri Sathya Sai Primary School, she mentioned that Indian politician Biju Patnaik named her at Sukarno's request.[6][7]

PDI-P National Congress

The First PDI-P Congress was held in Semarang, Central Java, in April 2000, at which Megawati Sukarnoputri was re-elected as chair for a second term.[24]

Megawati Sukarnoputri consolidated her position within PDI-P by taking harsh measures to remove potential rivals.[25] During the election for the chair, two other candidates emerged; Eros Djarot and Dimyati Hartono. They ran because they did not want Megawati Sukarnoputri to serve concurrently as both chair and vice president. Eros' nomination from the South Jakarta branch was voided by membership problems. Eros was not allowed to participate in the Congress. Disillusioned with what he perceived to be a cult of personality developing around Megawati, Eros left PDI-P. In July 2002, he formed the Freedom Bull National Party. Although Dimyati's candidacy was not opposed as harshly as Eros, he was removed as Head of PDI-P's Central Branch. He kept his position as a People's Representative Council (DPR) member, but left the party to become a university lecturer.[26] In April 2002, Dimyati formed the Our Homeland of Indonesia Party (PITA).[27]

Dr.(H.C.) Hj. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau lebih dikenal dengan nama Megawati Soekarnoputri lahir di  Yogyakarta, 23 Januari 1947. Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan anak dari presiden Indonesia pertama, Soekarno, yang kemudian mengikuti jejak ayahnya menjadi Presiden Indonesia.

Megawati adalah anak kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ibunda Megawati, Fatmawati[1], adalah seorang gadis kelahiran Bengkulu di mana Soekarno dahulu pernah diasingkan pada masa penjajahan Belanda.  Ia dilahirkan pada masa Agresi Militer Belanda. Pada waktu Soekarno diasingkan ke pulau Bangka, Fatmawati melahirkan seorang bayi yang dinamai Megawati Soekarno Putri, pada tanggal 23 Januari 1947 di kampung Ledok Ratmakan, tepi barat Kali Code.

Jejak politik sang ayah berpengaruh kuat pada diri Megawati Soekarnoputri. Karena sejak mahasiswa, saat kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, ia pun selalu aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Tahun 1986 ia mulai masuk ke dunia politik, sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Karier politiknya terbilang melesat. Mega hanya butuh waktu satu tahun menjadi anggota DPR RI.

Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.

Pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.

Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.

Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.

Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.

Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain, dan memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan presiden adalah 373 banding 313 suara.

Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI.

Pada 2004, masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.

Sepuluh tahun kemudian, Megawati dan PDI-P menunjuk Joko Widodo untuk maju dalam Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014. Akhirnya melalui proses pemilu yang cukup panjang, Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014 - 2019. Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI-P, Semarang, Jawa Tengah, 20 September 2014, Megawati ditunjuk kembali untuk menjadi Ketua Umum PDI-P periode 2015-2020.

Megawati Sukarnoputri (born January 23, 1947, Jakarta, Indonesia) is an Indonesian politician who was the fifth president of Indonesia (2001–04) and the first woman to hold the post.

The daughter of Sukarno, the first president of Indonesia, Megawati studied psychology and agriculture in college but did not take a degree. In 1987 she entered politics and was elected to the People’s Consultative Assembly (national parliament), becoming head of the Indonesian Democratic Party (Partai Demokrasi Indonesia; PDI) in 1993. She grew to be a threat to Indonesian president Suharto (who had replaced Sukarno in 1967), and in June 1996 the government engineered her removal as head of the PDI, thereby disqualifying her from running for president in the 1998 elections. Protests by her supporters in Jakarta in July prompted a government crackdown that spawned the worst riots and fires in the capital city in more than 20 years. Megawati was barred from running in the 1996 parliamentary elections.

In October 1998, after Suharto had resigned from office (May), Megawati and her supporters formed the left-of-center Indonesian Democratic Party for Struggle (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; PDI-P), and in the June 1999 parliamentary elections PDI-P took 34 percent of the vote, the best showing of any party. When Bacharuddin Jusuf (“B.J.”) Habibie, the unpopular interim president who had succeeded Suharto, withdrew, it was widely thought that the People’s Consultative Assembly would elect Megawati president. However, on October 20, the assembly chose Abdurrahman Wahid of the National Awakening Party, unleashing widespread protests by Megawati’s supporters; the next day she was chosen the country’s vice president. Faced with growing criticism of his administration, Wahid in 2000 handed over much of the day-to-day operations to Megawati, but his difficulties continued. On July 23, 2001, the People’s Consultative Assembly removed Wahid from office and named Megawati president, and she was sworn in later that day.

As president, Megawati faced a number of problems, including a failing economy, a separatist movement in the province of Aceh, and terrorist attacks. In October 2002 more than 200 people were killed and some 300 injured when a car bomb exploded outside a Bali nightclub; the attack was attributed to an Islamic militant group. Later that year she oversaw the signing of a cease-fire with Aceh separatists, but the fighting soon resumed, and in 2003 the government launched a major military offensive against the rebels. More bombings followed, including an attack on the Indonesian parliament. Megawati’s government was also beset by charges of corruption and was criticized for its inability to lower the country’s high unemployment rate. Megawati and Susilo Bambang Yudhoyono (her former security minister) prevailed in the first round of the 2004 presidential election, but he easily won a subsequent runoff vote and succeeded her in October. In July 2009 Megawati again ran for president, but she once more was defeated by Yudhoyono.

Batas maksimum pinjol bakal diatur dalam rancangan peraturan ojk tentang layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (lpbbti) atau fintech peer to. Dalam hal ini usia dibawah 17 tahun belum bisa mengajukan pinjol. Apalagi untuk melakukan pinjaman online, menetapkan batas umur minimal dari 21 tahun sampai 55 tahun,. Aturan yang mulai berlaku 2024 tersebut mengatur batasan jumlah platform pinjol, besaran bunga dan biaya lain, hingga batasan waktu penagihan bagi debt collector. Pinjol wajib menawarkan asuransi kepada peminjam.

Is your network connection unstable or browser outdated?

Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri (lahir 23 Januari 1947) adalah Presiden Indonesia kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004 dan Wakil Presiden Indonesia kedelapan yang menjabat sejak 21 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.

Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan satu-satunya hingga saat ini,[2] dan menjadi Presiden Indonesia pertama yang lahir setelah Indonesia merdeka serta wanita kelima yang memimpin negara berpenduduk mayoritas Muslim. Setelah Wakil Presiden pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Indonesia setelah Gus Dur dicopot dari jabatannya pada tahun 2001. Ia mencalonkan diri kembali dalam Pemilu Presiden 2004, tetapi dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mencalonkan diri kembali dalam Pemilu Presiden 2009, tetapi dikalahkan Yudhoyono untuk kedua kalinya.

Megawati Soekarnoputri berperan penting dalam menciptakan Komisi Pemberantasan Korupsi, sebuah lembaga yang bertugas untuk melawan korupsi di Indonesia. Ia juga menetapkan sistem pemilihan umum untuk pertama kalinya di mana rakyat Indonesia dapat memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, selain memilih calon anggota legislatif. Akibatnya, ia diberi julukan "Ibu Penegak Konstitusi".[3]

Megawati juga merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sejak memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1999. Ia adalah putri sulung presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Namanya, Soekarnoputri (berarti 'putri Soekarno'), adalah patronimik, bukan nama keluarga. Orang Jawa sering kali tidak memiliki nama keluarga. Ia sering disebut hanya sebagai Megawati atau Mega, yang berasal dari bahasa Sanskerta berarti 'dewi awan'. Dalam pidatonya di hadapan para siswa SD Sri Sathya Sai, ia menyebutkan bahwa politisi India, Biju Patnaik, menamainya atas permintaan Soekarno.[4][5]

general election

Incumbent president Megawati Sukarnoputri was the PDI-P's top nominee, seeking to become the first woman elected in her own right as president of a Muslim-majority country. She was joined by vice-presidential candidate Hasyim Muzadi, general chairman of Indonesia's largest Islamic organisation Nahdlatul Ulama (NU). The pair was assigned the number 2 for its ballot.[55] However, she was decisively defeated by Susilo Bambang Yudhoyono in the second round, by 61 percent to 39 percent,[30] on 20 September 2004. She did not attend the new president's inauguration, and never had congratulated him.[56]

On 11 September 2007 Megawati Sukarnoputri announced her candidacy in the 2009 presidential election at a PDI-P gathering. Soetardjo Soerjoguritno confirmed her willingness to be nominated as her party's presidential candidate.[57] Her nomination for president was announced on 15 May 2009, with Gerindra Party leader Prabowo Subianto as her running mate.[58]

Megawati's 2009 race was overshadowed by her calls to change Indonesia's voter registration procedure, obliquely suggesting that Yudhoyono's supporters were trying to manipulate the vote.[59] Megawati Sukarnoputri and Prabowo Subianto lost the election to Susilo Bambang Yudhoyono, coming in second with 26.79% of the vote.[60]

On 24 February 2012, Megawati Sukarnoputri distanced herself from polls[61] that placed her as a top contender for the 2014 presidential election.[62] As Chair of PDI-P, she appealed to her party at a gathering in Yogyakarta to focus on its current priorities. Nonetheless, a domain name appeared to have been registered in her name.[63] On 27 December 2012, the daily edition of the Jakarta Post hinted at a possible reconciliation in the 2014 general election between the families of Megawati Sukarnoputri and President Susilo Bambang Yudhoyono and their political parties, her PDI-P and his Democratic Party respectively.[64]

For the 2014 general election, the PDI-P and their coalition partners nominated Joko Widodo as their candidate for president. Joko Widodo defeated his opponent Prabowo Subianto in a hotly contested election.[65] Later, the relationship between Megawati Sukarnoputri and Joko Widodo became strained as she pushed for Police Commissary General Budi Gunawan for the post of the Indonesian Police Chief, despite him being investigated for corruption by the Corruption Eradication Commission (KPK). Budi Gunawan was Megawati's adjutant during her tenure as president.[66] Megawati later criticize Jokowi's decision, quipping him for not carrying out the party line of struggle, which result in a controversy.[67] Budi Gunawan was eventually appointed as the Director of the State Intelligence Agency.[68]

At the 4th PDI-P National Congress on 20 September 2014, Megawati Sukarnoputri was reappointed Chair of PDI-P for 2015-2020.[69]

On 10 January 2024, during the 51st anniversary of PDI-P, Megawati Sukarnoputri made a speech about several strategic issues, such as neutrality of the authorities, democracy, elections and volunteers.[70] She then gave a satirical speech for Joko Widodo, touching on the stigma of the role of volunteers in winning the presidential election and emphasizing that only parties have the authority to nominate president and vice president.[70] At the end of her speech, Megawati Sukarnoputri said that she was confident that the presidential and vice-presidential candidates from her party coalition, Ganjar Pranowo and Mahfud MD, would win in just one round in the 2024 presidential election. She added that Ganjar Pranowo and Mahfud MD were energetic, intelligent and cared about the little people.[70]

Rise to the presidency

Megawati Sukarnoputri had an ambivalent relationship with Abdurrahman Wahid. During the cabinet reshuffle of August 2000 for example, Megawati was not present for the announcement of the new line-up.[28] At another occasion, when the political tide began to turn against Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri defended him and lashed out against critics.[29] In 2001, Megawati Sukarnoputri began to distance herself from Abdurrahman Wahid as a Special Session of the MPR approached and her prospects of becoming president improved. Although she refused to make any specific comments, she showed signs of preparing herself, holding a meeting with party leaders a day before the Special Session was to start.[citation needed]

Early life and family

Megawati Sukarnoputri was born in Yogyakarta to Sukarno, who had declared Indonesia's independence from the Netherlands 2 years prior in 1945 and Fatmawati, a Minang descended from Inderapuran aristocracy, one of his nine wives. Megawati Sukarnoputri was Sukarno's second child and second daughter. She grew up in her father's Merdeka Palace. She danced for her father's guests and developed a gardening hobby. Megawati Sukarnoputri was 19 when her father relinquished power in 1966 and was succeeded by a government which eventually came to be led by President Suharto.[8]

Megawati Sukarnoputri attended Padjadjaran University in Bandung to study agriculture but dropped out in 1967 to be with her father following his fall. In 1970, the year her father died, Megawati Sukarnoputri went to the University of Indonesia to study psychology but dropped out after two years.[9]

In 1986, Suharto gave the status of Proclamation Hero to Sukarno in a ceremony attended by Megawati Sukarnoputri. Suharto's acknowledgment enabled the Indonesian Democratic Party (PDI), a government-sanctioned party, to campaign on Sukarno nostalgia in the lead-up to the 1987 legislative elections. Up to that time, Megawati Sukarnoputri had seen herself as a housewife, but in 1987 she joined PDI and ran for a People's Representative Council (DPR) seat.[8] The PDI accepted Megawati Sukarnoputri to boost their own image. Megawati Sukarnoputri quickly became popular, her status as Sukarno's daughter offsetting her lack of oratorical skills. Although PDI came last in the elections, Megawati Sukarnoputri was elected to the DPR. Like all members of the DPR she also became a member of the People's Consultative Assembly (MPR).[10]

Kepresidenan (2001–2004)

Pada tanggal 23 Juli 2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencopot Wahid dari jabatannya dan kemudian mengangkat Megawati sebagai presiden baru.[27] Dengan demikian, dia menjadi wanita keenam yang memimpin negara berpenduduk mayoritas Muslim. Pada 9 Agustus 2001, dia mengumumkan Kabinet Gotong Royong.[28]

Munculnya ikon oposisi terhadap rezim Soeharto ke kursi kepresidenan pada awalnya disambut secara luas, namun segera menjadi jelas bahwa kepresidenannya ditandai dengan keragu-raguan, kurangnya arah ideologis yang jelas, dan "reputasi untuk tidak bertindak dalam isu-isu kebijakan penting".[29][30][31] Sisi baik dari lambatnya kemajuan reformasi dan menghindari konfrontasi adalah dia menstabilkan keseluruhan proses demokratisasi dan hubungan antara legislatif, eksekutif, dan militer.[29]

Reformasi yang dilakukan sejak masa kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi agenda penting Megawati dalam memulihkan stabilitas politik dan demokrasi. Dalam melakukan hal tersebut, pemerintahannya mengesahkan 2 amandemen undang-undang dasar dengan amandemen ketiga pada 10 November 2001 dan amandemen keempat pada 1-11 Agustus 2002.[32] Amandemen-amandemen ini berkontribusi dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi[33] dan pembubaran Dewan Pertimbangan Agung.[32] Sebagai kontribusi terhadap amandemen ini, pemerintahannya telah merancang sejumlah undang-undang yang akan memenuhi amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terutama di bidang pemerintahan daerah, partai politik, dan pemilihan umum.[34]

Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno menguraikan fokus pemerintahannya pada desentralisasi, di mana pelaksanaan otonomi daerah dilakukan secara adil untuk memberikan kewenangan kepada daerah-daerah dalam mengelola daerahnya masing-masing dengan tetap menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.[34] Dalam menjalankan otonomi tersebut dan untuk menjaga persatuan bangsa, pemerintahannya menerapkan kebijakan otonomi daerah yang proporsional dan konsisten, menerapkan perimbangan keuangan yang berkeadilan, meningkatkan pemerataan pelayanan publik yang mudah diakses, memperbaiki kesenjangan pembangunan ekonomi dan pendapatan daerah, serta menghargai nilai-nilai budaya daerah sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.[35]

Dalam memerangi korupsi yang merajalela yang diwariskan oleh Orde Baru, ia membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).[36] Pembentukan KPK didasari oleh Megawati yang melihat bahwa banyak lembaga pada saat itu yang terlalu kotor, sehingga dibentuklah KPK. Jauh sebelum itu, gagasan awal pembentukan Komite Pemberantasan Korupsi muncul di era Presiden B.J. Habibie yang menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.[36]

Sejak pelantikannya, pemerintahan Megawati berusaha untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk membangun kembali ekonomi yang telah hancur sejak krisis finansial Asia 1997 dan krisis politik sejak kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 hingga 2001. Pada masa awal pemerintahannya, Indonesia memiliki utang sebesar US$105,8 miliar yang merupakan warisan dari rezim rezim Soeharto.[37] Sebagai presiden, ia menghadiri pertemuan Paris Club dan London Club dalam upaya untuk menegosiasikan kembali utang Indonesia yang belum dilunasi, yang berujung pada penundaan pembayaran utang sebesar US$5,8 miliar pada pertemuan Paris Club pada 12 April 2002 dan menyiapkan pembayaran utang sebesar Rp116,3 miliar pada tahun 2003.[38]

Megawati memulihkan hubungan kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang sempat tertunda pada masa kepresidenan Wahid[39] dengan menugaskan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan Boediono dan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah untuk memenuhi 20 letter of intent dari IMF dan Bank Dunia yang berdampak pada pencairan pinjaman IMF sekitar SDR 400 juta untuk memperkuat posisi cadangan devisa untuk setiap LOI yang diterima.[38] Kemitraan ini sendiri berakhir pada tahun 2003 karena kritiknya terhadap saran-saran "membingungkan" dari IMF dan Bank Dunia dalam memulihkan ekonomi Indonesia.[40]

Pemerintahannya dikenal luas karena privatisasi badan usaha milik negara (BUMN).[41] Menurut Megawati, privatisasi BUMN dilakukan untuk mempertahankan BUMN dari intervensi dan pembayaran utang publik, meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi dari sektor swasta.[38][41] Sejumlah BUMN seperti Semen Gresik, Bank Negara Indonesia, Kimia Farma, dan yang paling kontroversial, Indosat diprivatisasi.[41][42] Dalam jurnalnya sendiri, upaya privatisasi yang dilakukan Megawati telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,1% dan menekan inflasi sebesar 5,06%.[38] Namun, privatisasi yang dilakukannya terhadap BUMN, terutama pada Indosat, menuai kritik dan Megawati dituduh sebagai seorang neolib.[43]

Salah satu fokus pembangunan nasional dan sektor unggulannya adalah ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia. Pada tanggal 7 Juni 2003, Megawati di dalam KRI Tanjung Dalpele mencanangkan Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan (GERBANG MINA BAHARI). Intinya, gerakan ini menetapkan sektor Kelautan dan Perikanan, Pariwisata Bahari, Industri dan Jasa Maritim, serta Transportasi Laut sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi nasional. Secara bersamaan, sektor-sektor pembangunan dan kebijakan ekonomi-politik lainnya mendukung sektor-sektor penggerak utama ini. Sementara itu, dasar pembangunan Kelautan dan Perikanan adalah Pembangunan Berkelanjutan, yaitu menyelaraskan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan pelestarian lingkungan.[38]

Pada tahun 2003, Megawati meluncurkan program reboisasi dalam bentuk Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rehabilitasi area terdegradasi yang semakin luas dan kerusakan hutan dan lahan yang terjadi.[35] Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Megawati memang sudah sejak lama menyukai tanaman. Rokhmin mengatakan bahwa hobi pribadinya itu juga yang membuat Megawati menjadi lebih sadar dan peduli terhadap kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan.[44]

Presiden petahana Megawati Soekarnoputri adalah calon teratas PDI-P, berusaha untuk menjadi wanita pertama yang terpilih sebagai kepala negara di negara mayoritas Muslim. Ia didampingi oleh calon wakil presiden Hasyim Muzadi, ketua umum organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Pasangan calon ini diberi nomor urut 2 untuk surat suaranya. Namun, ia dikalahkan secara telak oleh Susilo Bambang Yudhoyono di putaran kedua, dengan selisih 61 persen berbanding 39 persen,[27] pada 20 September 2004. Ia tidak menghadiri pelantikan presiden baru, dan tidak pernah mengucapkan selamat kepadanya.[45]

Pada 11 September 2007, Megawati mengumumkan pencalonannya dalam pemilihan presiden 2009 di sebuah pertemuan PDI-P. Soetardjo Soerjoguritno menegaskan kesediaannya untuk dicalonkan sebagai calon presiden dari partainya.[46] Pencalonannya sebagai presiden diumumkan pada 15 Mei 2009, dengan pemimpin Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai pasangannya.[47]

Pemilihan Megawati 2009 dibayangi oleh seruannya untuk mengubah prosedur pendaftaran pemilih Indonesia, secara tidak langsung menunjukkan bahwa para pendukung Yudhoyono mencoba memanipulasi suara.[48] Megawati dan Prabowo kalah dalam pemilihan dari Yudhoyono, berada di urutan kedua dengan 26,79% suara.[49]

Pada 24 Februari 2012, Megawati menjauhkan diri dari jajak pendapat[50][51] yang menempatkannya sebagai pesaing utama untuk pemilihan presiden 2014.[52] Megawati, masih Ketua Umum PDI-P, mengimbau partainya dalam pertemuan di Yogyakarta untuk fokus pada prioritas PDI-P saat ini. Meskipun demikian, nama domain tampaknya telah terdaftar atas namanya.[53] Pada 27 Desember 2012, edisi harian The Jakarta Post mengisyaratkan kemungkinan rekonsiliasi dalam pemilihan umum 2014 antara keluarga Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan partai politik mereka, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Demokratnya masing-masing.[54]

Untuk pemilihan umum 2014, partai Megawati dan mitra koalisinya mencalonkan Joko Widodo sebagai calon presiden. Jokowi mengalahkan lawannya Prabowo Subianto dalam pemilihan yang diperebutkan.[55] Belakangan, hubungan Megawati dan Widodo menjadi tegang ketika dia mendorong Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan untuk jabatan Kapolri, meskipun dia diselidiki karena korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Budi Gunawan adalah Ajudan Megawati selama masa jabatannya sebagai presiden Indonesia.[56]

Pada Muktamar Nasional PDI-P ke-4 tanggal 20 September 2014, Megawati diangkat kembali sebagai Ketua Umum PDI-P untuk tahun ajaran 2015–2020.[57]